MENGGAGAS WAJAH BANTEN YANG IDEAL (Sebuah Refleksi Untuk Perubahan)[1]

Kamis, 14 Oktober 2010 , Posted by DEPKOINFO BEM FISIP UNTIRTA at 00.05


MENGGAGAS WAJAH BANTEN YANG IDEAL
(Sebuah Refleksi Untuk Perubahan)[1]

Oleh: Gandung Ismanto[2]

Pendahuluan
Tidak banyak orang yang secara terbuka berani mengatakan perlunya perubahan rejim guna menjawab kegagalan rejim saat ini dalam menata Banten secara lebih baik dalam satu dasawarsa terakhir. Jangankan untuk mengatakan itu, menyebut apa yang telah dilakukan rejim saat ini sebagai sebuah kegagalan saja telah menjadi kesulitan tersendiri untuk dilakukan. Saya mungkin adalah satu dari sedikit orang itu.
Tapi demi Allah, Saya bukanlah seorang pemberani, apalagi sekedar ingin mencari popularitas ataupun sensasi dari hal ini. Satu-satunya yang memotivasi Saya untuk melakukannya hanyalah keyakinan bahwa sesungguhnya ada jutaan masyarakat Banten yang sebenarnya memiliki pandangan yang sama, jutaan orang yang lebih memilih untuk bersikap diam, silent majority yang lebih memilih untuk memendam kegelisahannya sebagai sebuah harapan untuk berubah. Gelisah terhadap makin menjauhnya kenyataan hari ini dengan cita-cita pembentukan Provinsi Banten yang dulu turut mereka perjuangkan, walaupun hanya melalui sejumput doa dan harapan yang dititipkan pada para pendiri Provinsi ini.
Tulisan ini Saya dedikasikan bagi seluruh masyarakat Banten guna menemukenali secara mendalam problematika dirinya, dan menjadikannya sebagai alat untuk berefleksi guna menatap masa depannya sendiri. Dan semoga Allah meridhoi.

Memahami Demokrasi
Penonton sepakbola selalu lebih pintar dari pemainnya”, begitu kira-kira kalimat sarkastik yang hampir selalu digunakan oleh orang-orang yang alergi terhadap kritik tajam, seolah penonton memang sama sekali tidak paham tentang apa yang ditontonnya dan merekalah yang paling paham tentang apa yang dilakukannya. Pada satu sisi premis di atas mungkin saja benar adanya, namun tentu tidak benar seluruhnya. Mengapa? Karena faktanya ada premis lain yang juga memiliki kebenaran yang sama, bahwa “pemain sepakbola tidak selalu menyadari apa yang dilakukannya selama bermain sepakbola”. Artinya, tak diragukan lagi bahwa memang penonton sepakbola tidak akan pernah lebih pintar secara teknis dalam bermain sepakbola. Tetapi pada sisi yang tepat, penonton selalu lebih menyadari apa yang terjadi dan dilakukan oleh para pemain di lapangan sepakbola saat mereka justru tidak menyadarinya. Penonton - pada sudut pandang yang tepat – selalu menyadari apakah terjadi off side­ atau tidak, juga pelanggaran dan penyimpangan lainnya. Peristiwa gol Lampard (Inggris) yang dianulir oleh wasit adalah contoh ketidaksadaran wasit dan para pemainnya terhadap apa yang terjadi, sementara penonton – pada sudut pandang yang tepat – selalu tahu kebenaran apa yang seharusnya terjadi.
Analogi di atas sengaja penulis sajikan secara agak panjang guna mematahkan opini menyesatkan yang selalu digunakan oleh mereka yang alergi terhadap kritik, bahwa pemerintah lebih tahu segalanya dan rakyat diminta menjadi warga negara yang baik dengan cara bayar pajak tepat waktu, lalu “duduk manis” dalam rutinitas kesehariannya dan percaya sepenuhnya bahwa pemerintah pasti memikirkan nasib seluruh rakyatnya dan amanah dalam mengelola pajak yang telah mereka bayarkan itu. Hmmmmmm, kalau ada yang masih berparadigma seperti ini, mungkin mereka terlalu banyak membaca kisah fiksi tentang Raja atau Ratu yang baik hati, adil, bijaksana, mencintai dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Dan sepertinya mereka harusnya hidup di era kejayaan monarki, aristokrasi atau oligarki yang dengan absolutismenya telah melahirkan sejumlah pemberontakan yang kemudian berujung pada lahirnya demokrasi. Tapi tentu tak harus se-ekstrim itu untuk memahami substansi masalah ini, cukup dengan membuka mata dan telinga dalam membaca sejarah peradaban ummat manusia, kita akan menyadari pentingnya partisipasi rakyat, transparansi, akuntabilitas, rule of law, dan lain-lain, yang kini disebut dengan good governance itu. Dan cukup dengan membuka hati kita akan menemukan makna historis dari keengganan umat manusia untuk hidup dalam absolutisme yang terbukti telah menghantarkan umat manusia pada titik terrendah martabat kemanusiaannya. Semuanya terangkum apik dalam  premisnya Lord Acton bahwa “power tends to corrupt, but absolut power corrupts absolutely”, atau juga premisnya Edmund Burke bahwa “the greater the power, the more dangerous the abuse”.
Dalam konteks ilmu politik, analogi interaksi penonton, wasit dan pemain sepakbola di atas sangat penad dengan konsep checks and balances, yaitu mekanisme saling mengingatkan dan menyeimbangkan fungsi antar stakeholder dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam Ensiklopedi Britannica (2005) checks and balances dimaknai sebagai “principle of government under which separate branches are empowered to prevent actions by other branches and are induced to share power.” Inilah (salah satu) hakikat demokrasi, yang menghendaki berfungsinya semua elemen penyelenggaraan negara sehingga tidak terjadi absolutisme kekuasaan yang dapat mendekonstruksi kedaulatan rakyat dan menjatuhkan martabat mereka pada titik nadir sebagaimana pengalaman sejarah masa lalu.
Manakala kita telah memahami esensi demokrasi, maka barulah kita akan mulai bisa menjadi negarawan yang salah satunya berciri menghormati peran masing-masing aktor dan kelembagaan demokrasi dan atau pemerintahan, tanpa terjebak dalam keberpihakan pada kelompok dan atau kepentingan tertentu kecuali kebaikan dan kebenaran. Dan berangkat dari pemahaman inilah kita baru dapat mendiskusikan tema seminar yang ‘sensitif’ ini secara bebas tanpa rasa takut dan kekhawatiran apapun. Semoga…

Menatap Wajah Banten Hari Ini
Tidak ada satu orang pun di bumi ini yang menolak kenyataan bahwa banten hari ini memang lebih baik dari banten pada sepuluh tahun yang lalu saat ia baru terbentuk sebagai provinsi. Diskusi ini saya kira sudah final dan mengikat. Tetapi bicara soal seberapa besar kemajuan yang berhasil dicapai dibandingkan dengan besaran potensi yang harusnya bisa dicapai, ini soal kualitas kecerdasan dan kerja keras. Termasuk juga soal perbandingan relatif besaran yang bisa kita capai terhadap besaran yang provinsi lain bisa capai. Dan mendiskusikan dua perihal terakhir nampaknya jauh lebih cerdas dan bermanfaat daripada berkutat pada klaim-klaim kemajuan yang tak terukur itu.
Harus diakui bahwa faktanya masyarakat Banten terlalu besar menaruh harapannya pada terbentuknya provinsi, bahwa seolah-olah dengan menjadi provinsi sendiri semua persoalan yang selama ini mereka hadapi akan dapat diselesaikan (secara otomatis). Fenomena over expectation inilah yang sering melatari cara pandang tidak adil terhadap Provinsi Banten dan pemerintahnya, yang sering dibandingkan dengan provinsi lain yang telah lama berdiri dan jauh lebih maju. Cara pandang ini pada sisi tertentu memang tidak salah bila obyek komparasinya terbatas pada waktu dan atau bidang tertentu sejauh memiliki parameter input yang sama. Tetapi membandingkannya secara keseluruhan tentu menjadi tidak fair karena Banten memiliki starting point yang berbeda dengan provinsi-provinsi yang telah lebih dahulu maju tersebut.
Oleh karenanya perbandingan yang paling adil dan mencakup keseluruhan aspek yang diharapkan masyarakat adalah  membandingkan Banten dengan provinsi yang seusia dengan dirinya. Untuk keperluan ini, membandingkan Banten dengan Provinsi Gorontalo dan Bangka Belitung (Babel) nampaknya akan lebih banyak diterima tanpa reserve karena tidak bertentangan dengan common sense masyarakat pada umumnya.
Bila dibandingkan dengan kedua provinsi tersebut, kemajuan yang dicapai oleh Banten hari ini terasa sangat tidak optimal. IPM misalnya, menunjukkan sejumlah kelemahan yang perlu mendapat perhatian serius. Banten yang tahun 2002 berada pada peringkat 11 nasional dengan IPM 66,6 justru saat ini terpuruk pada peringkat 21 dengan IPM 69,8 (2009). Sementara Bangka Belitung yang pada tahun 2002 berada pada peringkat 20 dengan IPM 65,4 justru kini berhasil duduk di peringkat 10 dengan IPM 72,19 (2008). Sedangkan Gorontalo kendati tidak lebih baik dari Banten namun menunjukkan pencapaian yang konsisten dan menjanjikan walaupun sempat turun pada peringkat 28 pada tahun 2004. Secara agregat, sejak tahun 2002 Banten hanya berhasil meningkatkan IPM-nya sebesar 3,1 poin dari 66,6 menjadi 69,8, jauh dibawah Gorontalo yang mencapai 5,19 poin dari 64,1 menjadi 69,29, apalagi Bangka Belitung yang mencapai 6,79 poin dari 65,4 menjadi 72,19 pada tahun 2008.
Dalam hal pengentasan kemiskinan, Banten juga menunjukkan gejala yang tidak memuaskan. Secara agregat Gorontalo adalah Provinsi yang paling berhasil menurunkan angka kemiskinannya, dengan besaran 7,12 poin dari 32,13% pada tahun 2002 menjadi 25,01% pada tahun 2009, disusul Bangka Belitung sebesar 4,03 poin dari 11,62% pada tahun 2002 menjadi 7,59% pada tahun 2009. Sementara Banten hanya berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 1,58 poin dalam kurun waktu yang sama (7 tahun), dari 9,22% menjadi 7,64%. Dalam hal menekan angka pengangguran, secara agregat Banten terbukti tidak mampu menurunkan angka penganggurannya secara signifikan. Sejumlah data resmi BPS tahun 2002-2009 mengindikasikan trend negatif sebesar -4,65, yang berarti adanya kecenderungan meningkatnya angka pengangguran setiap tahunnya, dari 10,32% pada tahun 2002 menjadi 14,07% pada tahun 2009. Berbeda dengan gorontalo yang dalam kurun yang waktu sama secara fantastis mampu menekan angka penganggurannya hingga 11,42 poin dari 13,17% menjadi 6,14%. Demikian juga Bangka Belitung yang berhasil menekan hingga 2,85 poin dari 8,99% pada tahun 2006 menjadi 5,89 pada tahun 2009.
Bukti lain kurang kapabelnya pemerintah dalam menata ekonomi daerah dapat dilihat dari Laju Pertumbuhan Ekonomi-nya (LPE). Data resmi BPS dalam berbagai publikasinya menunjukkan kecenderungan pertumbuhan negatif secara agregat sebesar -0,94 dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, terhitung sejak tahun 2002 (5,16 ; 5,3 ; 5,7 ; 5,84 ; 5,53 ; 6,04 ; 5,83 ; 4,76). Sementara ekonomi Gorontalo mampu bertumbuh secara positif sebesar 0,61 dalam kurun waktu yang sama (5 ; 6 ; 6,93 ; 7,19 ; 7,3 ; 7,51 ; 7,73 ; 7,54). Dalam konteks yang berbeda, besaran angka pertumbuhan yang dicapai tiap tahun juga mengindikasikan kreativitas dan inovasi yang berbeda, dimana Gorontalo mampu mempertahankan pertumbuhannya pada angka 7% sedangkan Banten hanya pada kisaran rata-rata 5%. Padahal harusnya Banten dapat mencapai angka LPE jauh lebih tinggi dibanding Gorontalo karena faktor SDA banten yang lebih kompetitif serta letak geografisnya yang jauh lebih menguntungkan. Faktanya ini semua tidak pernah mewujud dalam sepuluh tahun terakhir.
Menurut analisis ekonom Dahnil Anzhar, LPE yang moderat pada angka 5% sejak 2001-2009 masih sangat jauh dibawah potensi pertumbuhan yang harusnya bisa dicapai oleh Banten. Harusnya dengan geostrategisnya, SDA yang luar biasa, serta supply tenaga kerja yang besar, Banten bisa mencapai angka LPE di atas Gorontalo. Faktanya justru terbalik karena adanya barrier inefisiensi yang tinggi, minimnya stimulus pemerintah terhadap dunia usaha, infrastruktur jalan dan listrik yang buruk, dan birokrasi pemerintah yang tak kunjung berubah. Kondisi ini kemudian memparah kesenjangan ekonomi antar daerah. Data National Human Development Resources (NHDR) UNDP, tahun 2009 misalnya membuktikan kontribusi yang tidak seimbang entitas ekonomi Tangerang yang berkontribusi sebesar 61% terhadap PDRB Provinsi Banten, sedangkan Kabupaten/Kota lain hanya menyumbang sisanya.
Fakta-fakta di atas tentu juga menemukan relevansinya dengan sejumlah kenyataan yang juga masih memprihatinkan, misalnya : masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan yang masih mencapai 252 kasus/100.000 kelahiran; Angka Kematian Bayi (AKB) masih mencapai 32 kasus/1.000 kelahiran;  angka pengangguran tertinggi secara nasional (14,97%); layanan pendidikan dan kesehatan yang kurang memadai, kesenjangan sosial antar daerah yang makin lebar, Infrastruktur di wilayah selatan yang buruk ; kualitas pekerjaan pembangunan yang buruk, serta arah pembangunan yang distortif oleh sejumlah proyek mercusuar dan atau proyek pesanan yang muncul ‘tiba-tiba’.
Sekelumit fakta di atas sepertinya tak terbantahkan, kendati memang butuh kejujuran dan keikhlasan untuk mengakuinya secara terbuka sebagai kenyataan. Kini, pertanyaan besar yang tersisa adalah ‘apa yang salah selama 10 tahun terakhir ini, sehingga Banten tak mampu bangkit menuju kejayaannya seperti yang dicita-citakan dahulu ? ‘

Problem Mendasar
Keseluruhan abstraksi permasalahan di atas secara makro menggambarkan perbedaan kualitas dan kesungguhan ikhtiar yang berbeda antar ketiganya, sehingga menghasilkan hasil yang berbeda-beda pula. Kreativitas dan inovasi nampaknya menjadi kata kunci yang paling tepat untuk mewakili keberhasilan provinsi Gorontalo dan Bangka Belitung. Di luar konteks indikator makro di atas, empat permasalahan berikut ini nampaknya juga sangat mendasar sifatnya, yang langsung atau tidak telah berdampak terhadap efektivitas pemerintahan dan pembangunan di Banten selama ini. Pertama, tidak jelasnya pembagian peran antara Gubernur dan Wakil Gubernur sehingga menyebabkan tidak optimalnya fungsi kepemimpinan daerah. Wagub sangat nampak lebih banyak berperan dalam acara-acara seremonial semata, dan kurang berperan dalam pengambilan keputusan, koordinasi, dan pengendalian pemerintahan. Kapasitas dan pengalaman Wakil Gubernur yang sangat panjang dan paripurna tidak nampak secara signifikan dalam membantu tugas-tugas Gubernur dalam memimpin dan melakukan percepatan pembangunan daerah.
Kedua, masih mengemukanya polemik bantuan keuangan provinsi kepada kabupaten/kota, yang dapat menjadi indikasi masih adanya disharmoni antarlevel pemerintahan di Provinsi Banten dan antar pelaku pembangunan dalam memahami dan mengentaskan persoalan mendasar Banten.  Ketiga, adanya indikasi tidak sinkronnya hasil kerja dan rekomendasi Baperjakat dengan kehendak kepala daerah sehingga menyebabkan beberapa fakta antara lain: lambatnya pengisian sejumlah jabatan struktural yang kosong, adanya kebijakan perpanjangan masa kerja pejabat setingkat eselon II sehingga berpotensi menghambat karir PNS di bawahnya, serta adanya indikasi kurang dipatuhinya asas kelayakan dan kepatutan (merit system) dalam pengangkatan pegawai dan pejabat. Kondisi ini juga menyebabkan lambannya akselerasi pembangunan di tingkat lembaga-lembaga teknis daerah karena dipimpin oleh birokrat yang kurang cakap, sementara sejumlah birokrat yang cerdas dan berpengalaman justru tidak mendapat kesempatan untuk berkarya bagi kemajuan Banten.
Keempat, Tidak fokusnya Pemerintah Provinsi dalam mengelola urusan wajibnya sendiri serta cenderung berorientasi pada capaian-capaian yang bersifat mercusuar. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya konsistensi dalam mengimplementasikan seluruh rencana yang telah disusunnya sehingga mudah berubah di tengah jalan karena mengakomodasi usulan dan kepentingan politik tertentu. Keempat masalah ini menurut penulis sangat fundamental sifatnya, karena terkait dengan kepemimpinan dan komitmennya terhadap terselengaranya pemerintahan yang baik dan pembangunan yang berkualitas guna mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Keseluruhan fakta kegagalan di atas beserta keempat persoalan mendasarnya merupakan abstraksi dari kegagalan paradigma pemerintah saat ini yang kurang mengedepankan ilmu pengetahuan (knowledge based) dalam pengambilan keputusan dan implementasi pembangunan. Paradigma yang mengedepankan ‘kumaha aing’ bukan ’aing kumaha’. Dan pendekatan yang didasarkan pada prinsip ‘kumaha engke’ bukannya ‘engke kumaha’. Inilah cara pemerintah saat ini bekerja, yang terbukti gagal membawa Banten pada kondisi yang optimis. Inilah hasil dari paradigma otot, yang mementingkan bekerja keras dan menafikkan bekerja cerdas.

Solusinya..?
Mengingat kembali apa yang Saya kemukakan pada pendahuluan makalah ini, Saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa Banten butuh pembaruan untuk memperbaikinya, Banten butuh cara baru guna mengatasi ketertinggalannya, dan karenanya rejim ini harus berakhir!. Sudah saatnya jawara  - sebagai representasi paradigma otot – mundur dari tampuk kekuasaannya di hati dan pikiran rakyat, guna memberi kesempatan kepada kaum intelektual (ulama dan ilmuwan) – sebagai representasi paradigma otak – untuk membangun peradaban emasnya di Provinsi Banten. Mengapa demikian? Paling tidak ada beberapa argumentasi yang relevan untuk menjawab ini.
Pertama, secara empiris satu dasawarsa adalah waktu yang lebih dari cukup untuk membuktikan apakah hegemoni paradigma otot itu cukup mampu dan efektif untuk memajukan kualitas kehidupan masyarakatnya atau tidak. Faktanya, di usianya yang ke-10 ini, pembangunan makin distortif, prioritas makin tak jelas, dan keberpihakan tampak kehilangan empatinya. Angka-angka statistik di atas secara faktual menggambarkan kegagalan pembangunan kita oleh “rejim otot” selama satu dasawarsa ini.
Kedua, selama satu dasawarsa terakhir, kaum jawara gagal dalam melakukan transformasi sosial seperti yang berhasil dilakukan oleh kaum “jawara” di Jepang. Jawara gagal mengubah citra kekerasan yang melekat dalam pada eksistensi historisnya menjadi jawara yang bercitra bersahabat, ramah, dan intelek. Citra jawara masih terlalu melekat terbatas pada kalangan tertentu, kelompok tertentu, dan indentitas lokal tertentu. Belum bertransformasi menjadi nilai kearifan lokal yang menjadi etos kerja masyarakat Banten pada umumnya, seperti halnya etos para Samurai di Jepang yang berhasil diubah sebagai nilai dan karakter sosial masyarakat Jepang yang pantang menyerah, pekerja keras, dan terpelajar. Akibatnya kaum jawara secara sosiologis masih memiliki resistensi yang cukup tinggi, dalam arti kohesivitas sosialnya yang sangat terbatas bahkan makin menstigma kuat pada kalangan tertentu dimaksud di atas. Ekspansi kaum jawara pada ranah politik dan ekonomi yang cenderung massif dan hegemonik, tidak cukup mampu mengubah wajah dan karakter dasar mereka yang identik dengan violence, bahkan menjadikan citra mereka menjadi makin buruk sebagai dampak dari praktek politik dan ekonomi mereka yang tidak meninggalkan tabiat dasarnya yang tidak mencerahkan.
Dampak terparah dari manuver politik dan ekonomi kaum jawara ini sangat nampak pada tersanderanya demokrasi lokal kita. Demokrasi tidak lagi mampu mengejawantahkan kehendak dan hati nurani masyarakat karena tersandera oleh politik uang yang tak kuasa dielakkan oleh masyarakat karena terperangkapnya silent majority kita itu pada kemiskinan dan kebodohan. Tersandera oleh partai politik yang menjadikan dirinya hanya sebagai alat kekuasaan dan perahu tumpangan untuk menuju kekuasaan. Tersandera oleh sistem dan proses hukum kita yang tidak mampu berkorelasi dengan rasa keadilan masyarakat. Dan tersandera oleh pemerintahan kita yang terbelenggu oleh kepentingan pragmatis kaum kapitalis hingga kehilangan kemampuannya untuk berempati terhadap amanat penderitaan rakyat. Itu sebabnya demokrasi kita yang teramat mahal itu tidak mampu merepresentasi kehendak mayoritas yang diam. Dan itu sebabnya demokrasi kita itu tidak lagi mampu menjadi wahana yang positif untuk memperbaharui kontrak sosial setiap kali momentum lima tahunan itu tiba. Demokrasi kita pada akhirnya baru sekedar berkualitas pada aras prosedurnya, namun sangat anti demokrasi pada proses dan substansinya.
Demokrasi kita bahkan gagal menjamin sirkulasi elit yang wajar dan rasional kepada masyarakatnya, dan cenderung menghasilkan kartel-kartel politik yang menghasilkan oligarki. Kekuasaan hanya tersebar pada satu kelompok saja, bahkan cenderung terkonsolidasi pada satu tangan. Pada titik inilah sinyalemen Edmund Burke menemukan relevansinya. Non-voting behaviour yang cenderung meningkat dari pemilu ke pemilu cukup menjadi indikasi meningkatnya sikap apathy masyarakat terhadap kegagalan demokrasi ini. Coba saja bandingkan tingkat partisipasi seluruh pemilu dan pemilukada d provinsi dan kabupaten kota se-provinsi Banten yang rata-rata kurang dari 50% kecuali pemilukada di Kota Tangerang tentunya yang mencapai angka 85%.
Ketiga, fitrah kekuasaan kaum jawara cenderung menyebarkan aura menakutkan sehingga disengaja atau tidak, telah menciptakan teror secara psikologis kepada masyarakat. Akibatnya tabiat kekuasaannya menjadi cenderung tidak mencerahkan dan membebaskan. Sinyalemen ini paling tidak dapat dibuktikan secara historis pada hampir semua kekuasaan yang militeristik seperti pada jaman kekaisaran Romawi pada masa lalu misalnya, atau seperti ditampakkan oleh rejim “pretorian” di Myanmar saat ini. Indonesia juga pernah mengalami era yang sama di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto selama lebih dari 30 tahun. Pada sisi ini, tabiat kekuasaan kaum jawara memiliki ciri yang sama dengan kaum militer pada masa lalu maupun era sistem politik modern, sehingga dapat diidentifikasi secara sama antar satu dan lainnya.
Berbeda dengan fitrah kekuasaannya kaum intelektual yang cenderung menyebarkan aura pencerahan yang membebaskan. Mengapa? Karena kaum intelektual ditakdirkan untuk selalu menyebarkan nilai-nilai dan pemikiran barunya di masyarakat, untuk diuji kebenarannya, dan diikuti bila nilai dan pemikiran itu dapat diterima oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran. Semuanya melalui proses dialektika yang alamiah, sukarela, tanpa paksaan, dan tanpa penaklukan. Berbeda dengan kekuasaan kaum militer yang hampir selalu diiringi dengan penaklukan satu ke penaklukan lainnya, betapapun baiknya rejim militer itu.

Peluang Perubahan
Demokrasi senantiasa menawarkan peluang perubahan setiap lima tahun sekali. Siklus lima tahunan dan pembatasan masa jabatan disepakati sebagai salah satu cara konstitusi guna mencegah terjadinya absolutisme di pusat maupun daerah. Sebagai peluang, maka tentu ia akan sangat tergantung pada rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sah, apakah mereka mau memanfaatkannya untuk memperbarui kontrak sosial yang telah ada, atau memilih status quo tanpa pembaruan apapun. Sayangnya kita dihadapkan pada fakta bahwa kecerdasan politik rakyat pada umumnya masih sangat memprihatinkan sebagai akibat dari tidak seriusnya pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik beserta elit-elitnya. Akibatnya, sejarah pemilu dan pemilukada kita membuktikan pragmatisme yang merajalela pada rakyat yang kita cintai ini sehingga tidak sedikit yang memilih menggadaikan kedaulatannya dengan satu atau dua lembar uang kertas limapuluhan ribu.
Apakah ini berarti tertutupnya pintu perubahan? Secara optimis tentu harus kita jawab dengan kata ‘tidak!’. Mengapa? Karena dibalik kebodohan politik yang menggejala itu kita masih meyakini kejujuran nurani mereka yang selama ini memilih diam karena takut dan atau pertimbangan lainnya. Dengan membuka selubung ketakutan itu, maka keberanian untuk melihat pentingnya perubahan akan terbuka. Dan selubung hanya dapat dibuka hanya dengan cara melihatnya secara biasa, mendiskusikannya secara biasa, dan memperlakukannya secara biasa pula sehingga pada akhirnya rakyat menyadari bahwa sesungguhnya apa yang membelenggu mereka selama ini hanyalah fatamorgana. Dan ketidakmungkinan untuk berubah hanyalah mitos menggurita karena khayalan akan kekhawatiran yang tak beralasan.
Perubahan hakiki memang tidak mungkin terwujud hanya melalui pemilu dan pergantian rejim, apalagi bicara soal kebangkitan. Namun demikian, pergantian rejim dapat jadi menjadi simbol dari perubahan yang diharapkan itu. Tanpa berpretensi terhadap apapun dan siapapun, Saya meyakini bahwa Pemilukada tahun 2011 di Provinsi Banten dapat menjadi jembatan emas guna mewujudkan perubahan dan kebangkitan itu. Paling tidak, gagasan untuk mengedepankan otak daripada otot dapat dimaknai secara nyata sebagai sebuah gerakan sosial dan gerakan politik guna menciptakan prakondisi yang memadai bagi terjadinya perubahan rejim dimaksud.
Rejim dimaksud tentu bukan bermakna orang. Ensiklopedia Britannica misalnya memaknai rejim sebagai “(1) mode of rule or management; (2) a form of government, e.g. a socialist regime”. Singkatnya, rejim bukanlah merujuk pada orang. Rejim lebih mengacu maknanya pada haluan, cara pandang, paradigma, filosofi, dan atau ideologi yang mendasari suatu kebijakan dan atau pemerintahan. Hal ini penad dengan makna gramatikal dari regime dalam bahasa Inggris yang berarti political or ruling system,  atau system of government. Karena rejim tidak bermakna orang, maka ia terbuka sebagai pilihan kepada siapapun untuk menganutnya dan atau merubah cara pandangnya, termasuk kepada ruling elite yang eksis saat ini. Karenanya, Saya tidak pernah ragu untuk mengatakan perlunya perubahan rejim dalam menata penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Banten. Rejim yang idealnya dapat memadukan potensi otak sekaligus otot dan ati-nya (baca: relijiusitasnya). Rejim baru yang lebih mampu mewujudkan thre greatest happiness for the the greatest numbers sebagaimana hakikat dan idealita demokrasi, bukan rejim yang hanya mensejahterakan orang dan atau kelompok politik tertentu. Semoga….

Penutup
Yaa Rabb, kami percaya bahwa apa yang terjadi pada diri kami saat ini adalah kehendak-Mu. Tapi kami juga menyadari bahwa apa yang kami capai saat ini adalah juga karena kurangnya ikhtiar kami untuk bersungguh-sungguh mengubah nasib kami sendiri. Karenanya, ampunilah kesalahan kami ini, dan tambahkanlah kekuatan dan kesabaran pada diri kami, agar kami mampu membangun masa depan kami yang lebih baik dari hari ini dan kemarin, agar kami tidak menjadi kaum yang merugi di hadapan-Mu yaa Allah.
Duh Gusti, jika engkau ijinkan tahun 2011 nanti menjadi gerbang perubahan menuju keberkahan-Mu yaa kariim, maka berilah kami kekuatan guna mewujudkannya. Namun bila tidak, kuatkanlah Kami dan luaskanlah kesabaran kami guna menjalaninya. Amin yaa mukallibul qulub, inni tawwakaltu alallah......



Serang, 12 Oktober 2010


[1] Makalah, disampaikan pada Seminar Regional “Banten Yang Ideal di Era Otonomi Daerah”, BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di Ruang Telekonferensi Gedung C Lantai II Untirta, tanggal 13 Oktober 2010
[2] Penulis adalah pemerhati sosial dan politik,  lahir di Tanjung Karang 35 tahun silam, menikah dan memiliki 2 putra. Hobi membaca, bermusik, dan fishing. Pernah memimpin Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Serang tahun 2004, Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Banten tahun 2006, Konsultan Perencana pada beberapa instansi pemerintah hingga kini, Sekretaris Eksekutif Dewan Riset Daerah Provinsi Banten tahun 2005-2008, Pembantu Dekan II FISIP UNTIRTA 2007-2009, dan lain-lain. Pembicara dan trainer pada sejumlah seminar, lokakarya, dan training. Host pada acara dialog interaktif “Sudut Pandang” di Banten Tv. Sehari-hari berkhidmat sebagai guru pada program studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, serta aktif menulis dan meneliti untuk pengembangan ilmu sosial dan politik maupun untuk kepentingan kebijakan publik.

.
Latest News